OLEH INDARWATI AMINUDDIN dan AGUS SOPIAN
HUJAN
turun deras. Datuk Banjir menutup kepalanya dengan kain sarung. Begitu
juga kedua temannya. Dalam gelap, getek yang mereka naiki dibiarkan
melaju sendiri mengikuti riak air. Di sebuah tempat, getek tiba-tiba
berhenti. Datuk mengambil galah dan membenamkan ujungnya ke dasar air
untuk mendapatkan gerak maju. Dasar air tak tersentuh. Getek tetap diam.
Dicobanya lagi, masih tak berhasil. Datuk mengira, di sana ada lubang
tempat persembunyian buaya.
Ketika
air telah surut, Datuk kembali ke sana. Benar saja, di situ terdapat
sebuah lubang. Bentuknya seperti sumur. Ia menamakannya Lubang Buaya.
Legenda Lubang Buaya
berkembang
dari mulut ke mulut. Terakhir, penduduk sekitar mendengarnya dari H.
Yusuf, pria asal Cirebon, yang mengklaim keturunan Datuk Banjir. Mereka
yang percaya, mendatangi sumur itu setiap menjelang musim hujan, sekira
bulan Oktober. Di sana, mereka menyelenggarakan ruwatan. Doa mohon
keselamatan dari ancaman bahaya banjir dipanjatkan. Nama Datuk Banjir
yang diyakini menguasai tempat itu, mereka lafalkan dengan khidmat.
Tradisi ruwatan meluas ke permohonan lain. Kepada sang penguasa sumur,
warga juga meminta limpahan rejeki dan jodoh buat anak-anak gadisnya.
Sumur Lubang Buaya terletak di Desa Lubang Buaya
Kecamatan
Cipayung, Jakarta Timur, sekitar 20 kilometer dari pusat kota. Di
sebelah selatannya terdapat markas besar Tentara Nasional Indonesia
Cilangkap, sebelah utara Lapangan Udara Halim Perdanakusuma, sebelah
timur Pasar Pondok Gede, dan barat Taman Mini Indonesia Indah.
Tanah
di seputaran bibir sumur berwarna merah kecoklatan dan kering. Bagian
terdekat diberi terali besi bercat merah putih. Lantai marmer putih
kilap mengelilingi sumur berdiameter 75 centimeter itu. Sebuah cungkup,
bangunan seperti pendopo, memayunginya. Langit-langit bangunan ini
diukir.
Tepat
di atas lubang, sebuah cermin bergantung. Lewat cermin inilah orang
bisa menatap dasar sumur yang diberi pelita. Kecuali nyala api tadi, tak
ada apa-apa lagi di sana. Jangankan air, rumput pun tak tumbuh di sumur
berkedalaman 12 meter itu.
Kalau
Lubang Buaya ditata, itu bukan dimaksudkan untuk mengendapkan cerita
rakyat tentang Datuk Banjir. Ada cerita lain yang punya dimensi politik,
sekaligus jadi bagian sejarah Indonesia dengan segala kontraversinya.
Di sanalah jasad tujuh perwira militer, enam jenderal dan seorang
letnan, ditemukan dalam keadaan rusak. Peristiwa traumatik ini, terutama
bagi militer Indonesia, dikenal dengan nama G-30-S PKI, kependekkan
dari “Gerakan 30 September 1965 Partai Komunis Indonesia”.
Pembunuhan
atas para perwira itu jadi antiklimaks ofensif PKI terhadap
seteru-seteru politiknya. Militer memburu mereka yang dianggap
bertanggung jawab. Kekuatan massa PKI habis dalam tempo cepat, menyusul
pembantaian besar-besaran atas mereka di berbagai daerah oleh militer
dan massa pro-militer. Sebagian di antaranya dijebloskan ke dalam
penjara dan diasingkan ke pulau-pulau terpencil.
Kilas
balik ofensif PKI, yang ditandai oleh pembentukan milisi dan sayap
militer, sekurang-kurangnya dapat ditelusuri ke tanggal 23 Mei 1965.
Saat itu, PKI menggelar peringatan ulang tahun. Dalam even ini, D.N.
Aidit, ideolog PKI, menyeru kader-kadernya untuk meningkatkan sikap
revolusioner.
Perayaan
yang mirip ‘parade kekuatan rakyat’ itu semarak dengan poster-poster
berisikan slogan-slogan PKI, termasuk propaganda pembentukan “Angkatan
V”. Ini merujuk kepada kekuatan buruh dan tani untuk dipersenjatai dan
dilatih kemiliteran. Empat angkatan yang telah terbentuk sebelumnya
adalah militer angkatan darat, laut, udara dan kepolisian.
Ledakan
kebringasan massa hanya tinggal tunggu waktu. Dan benar, seruan Aidit
diikuti oleh terjunnya para eksponen PKI ke desa-desa membawa slogan
“Desa Mengepung Kota”, tak ubahnya slogan Mao Tse Tung ketika
mengobarkan revolusi komunisme di China.
Dalam
aksinya, mereka meneriakkan kebencian terhadap unsur-unsur masyarakat
yang dianggap jadi lawan-lawan politiknya. PKI mengekspresikannya dalam
slogan “Tujuh Setan Desa”. Mereka adalah tuan tanah, tengkulak, bandit
desa, tukang ijon, lintah darat, birokrat desa, dan amil zakat. Keadaan
memanas, massa PKI melakukan serangkaian pembantaian dan pembunuhan
sistematis terhadap “setan-setan” itu.
Aksi
brutal PKI meresahkan rival-rivalnya. PNI (Partai Nasional Indonesia),
NU (Nahdlatul Ulama), Parkindo (Partai Kebangkitan Indonesia), Partai
Katolik, PSII (Partai Syarikat Islam Indonesia), hingga IPKI (Ikatan
Pendukung Kemerdekaan Indonesia), siaga menghadapi berbagai kemungkinan
seraya melontarkan berbagai kecaman. PKI di satu pihak dan lawan
politiknya di pihak lain, berhadap-hadapan untuk suatu konfrontasi
terbuka.
Pimpinan
PKI di Jakarta, yang tergabung dalam Politbiro, lembaga kekuasaan
tertinggi partai berlambang paru dan arit itu, menyambut reaksi
seteru-seterunya dengan mempercepat pembentukan milisi. Juli 1965,
kader-kader PKI berdatangan ke Lubang Buaya.
Di
sana, mereka dilatih oleh sejumlah instruktur militer di bawah pimpinan
Mayor Udara Sujono, Komandan Pasukan Pertahanan Pangkalan Halim. Tak
hanya kaum pria, kader-kader PKI perempuan pun ikut serta. Kebanyakan
dari mereka berasal dari organisasi yang sangat solid pada masa itu:
Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia).
Di
akhir latihan, mereka mendiskusikan berbagai persoalan politik,
terutama sepak-terjang sejumlah jenderal yang dianggap korup dan dekaden
hingga Indonesia dilanda krisisis. Saat itu, laju inflasi memang sudah
mencapai dua digit. Antrean bahan makanan pokok berlangsung di
mana-mana. Banyak rakyat yang kelaparan.
Massa PKI berang. Mereka berteriak-teriak meminta para jenderal itu dihadirkan ke hadapan mereka.
Letnan
Kolonel Untung, komandan Cakrabirawa, pasukan pengawal kepresidenan,
memerintahkan Letnan Satu Dul Arief untuk menjemput dan membawa
jenderal-jenderal yang telah didata. Pasukan Pasopati yang dipimpinnya
segera bergerak dari Lubang Buaya sekitar pukul 03.00 WIB. Mereka
menyebar ke sasaran masing-masing secara serentak.
Brigadir
Jenderal Soetodjo Siswomihardjo, Brigadir Jenderal Donald Izaac
Pandjaitan, Mayor Jenderal S. Parman, Mayor Jenderal MT Hardjono, Letnan
Jenderal Ahmad Yani, Mayor Jenderal R. Soeprapto dan Letnan Satu Piere
Andries Tendean, mereka bawa ke Lubang Buaya untuk diinterogasi. Massa
yang sedang kalap menganiaya mereka hingga tewas. Jenazah para korban
lantas dibenamkan ke dalam sumur itu. [Versi lain mengatakan sebagian di
antara mereka masih hidup ketika dijatuhkan ke sumur.]
Kisah-kisah
menyeramkan pun segera mengalir. Soeharto, salah seorang jenderal yang
selamat, mengkampanyekan kekejian massa PKI lewat dua koran milik
militer: Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha. Disebutkan, sebelum
dibunuh, para perwira itu disiksa dan dijadikan bagian pesta mesum
Gerwani. Sejumlah perwira disayat-sayat kemaluannya dan matanya
dicungkil.
Sebelum
dibunuh, mereka dikelilingi kader Gerwani sambil menari-nari dan
menyanyikan lagu-lagu rakyat yang sedang populer masa itu, seperti
Ganyang Kabir atau Ganyang Tiga Setan Kota ciptaan Soebroto K Atmodjo,
komponis Lembaga Kebudayaan Rakyat, organisasi underbouw PKI.
Genjer-genjer, lagu pop yang sedang hit waktu itu, ikut menyemarakkan.
Mereka yang sudah trance kemudian menusuk-nusukkan pisau ke sejumlah
anggota tubuh para korban.
Koran-koran
pun memberitakan, dalam suasana yang semakin panas, beberapa wanita
menanggalkan busananya, dan tenggelam dalam ritual pesta “Harum Bunga”.
Pesta ini sekaligus memuncaki pesta sebelumnya sebagai suatu rangkaian
penanda berakhirnya latihan militer mereka. Ada berita lain yang
menyebutkan, bahwa dalam pesta itu mereka melakukan hubungan seks liar.
Seorang dokter diisukan memberikan pil-pil perangsang syahwat.
“Jelaslah
bagi kita,” kata Soeharto, “betapa kejamnya aniaya yang telah dilakukan
oleh petualang-petualang biadab dari apa yang dinamakan Gerakan 30
September.”
Mendapat
dukungan massa, Soeharto mengambil-alih tongkat komando militer
Indonesia. Ia memimpin upacara pengangkatan jenazah dari dalam sumur,
mempertontonkannya kepada massa, dan mempublikasi data-data forensik
tentang kerusakan jenazah dan penyebabnya. Kebencian akan PKI menyebar
ke seantero negeri dan melahirkan perburuan besar-besaran pada
tokoh-tokoh serta anggota partai tersebut.
Sudomo,
bekas menteri Koordinator Politik dan Keamanan, mengatakan, ada sejuta
massa PKI yang terbunuh. Angka ini jauh lebih kecil dari perkiraan
peneliti masalah ini, yang menaksir antara dua sampai tiga juta orang.
Mereka
yang selamat dari pembunuhan dipenjarakan dan diasingkan ke berbagai
tempat, mulai Pulau Nusakambangan [wilayah selatan Indonesia] hingga
Pulau Buru [wilayah timur Indonesia]. Hampir semua tahanan politik PKI,
yang jumlahnya ribuan, dipenjarakan tanpa proses pengadilan. Bahkan
surat penahanan pun mereka terima setelah bertahun-tahun berada di balik
jeruji besi.
Soeharto
sendiri, lewat secarik kertas bernama Super Semar—kependekkan dari
Surat Perintah Sebelas Maret 1966, yang diteken Presiden
Soekarno—akhirnya memegang komando militer dengan kekuasaan penuh.
Bahkan, dengan kekuasaannya itu, ia mengasingkan Soekarno ke Istana
Bogor dengan alasan pengamanan.
Soeharto
kemudian menanda-tangani surat keputusan No.1/3/1966 untuk membubarkan
PKI. Surat keputusan ini diperkuat lagi dengan Ketetapan Majelis
Permusyaratan Rakyat Sementara (Tap MPRS) Nomor 25/1966.
Sejak
itu, selain PKI dinyatakan partai terlarang, setiap kegiatan penyebaran
atau pengembangan paham dan ajaran Komunisme-Marxisme-Leninisme,
dianggal illegal. Seluruh eks PKI dan sanak-familinya tak diperkenankan
masuk ke dalam jajaran pemerintahan dan militer. Di kemudian hari,
mereka pun tak bisa jadi pegawai swasta karena swasta takut
memperkerjakan mereka.
Bandul
perubahan politik berjalan dengan cepat. Soeharto, yang sebelumnya sama
sekali tak populer di mata rakyat, makin dielu-elukan sebagai
penyelamat negara. Tahun 1967, ia diangkat jadi presiden kedua Indonesia
oleh MPRS, yang diketuai Jenderal A.H. Nasution. Era Orde Baru dimulai.
Pada
tahun itu juga, Soeharto langsung memerintahkan aparatnya untuk
membebaskan kawasan Lubang Buaya dari hunian penduduk dalam radius 14
hektar. Mereka yang terusir kebanyakan memilih kampung Rawabinong dan
Bambu Apus, beberapa kilometer dari Lubang Buaya, sebagai daerah tujuan.
Tahun
1973, kawasan itu diresmikan sebagai jadi Monumen Pancasila Sakti.
Upacara kenegaraan 1 Oktober untuk mengenang peristiwa G-30-S PKI,
segera mengubur upacara rakyat ruwatan Oktober untuk menyeru Datuk
Banjir.
Ketujuh
perwira militer yang terbunuh diabadikan dalam tugu, patung dan relief
yang berada sekitar 45 meter sebelah utara cungkup sumur Lubang Buaya.
Patung-patung mereka dibangun setinggi kurang lebih 17 meter dengan
instalasi patung Burung Garuda di belakangnya. Dinding berbentuk
trapesium, berdiri kokoh di atas landasan berukuran 17 x 17 meter bujur
sangkar dengan tinggi 7 anak tangga.
Mereka
berdiri dalam formasi setelah lingkaran, mulai Soetodjo Siswomiharjo,
DI Pandjaitan, S. Parman, Ahmad Yani, R. Soeprapto, MT Hardjono dan AP
Tendean. Salah satu patung di monumen tersebut, perwujudan A. Yani, yang
di masa lalu jadi saingan Soeharto dalam karir kemiliteran, menunjukkan
tangannya ke arah sumur Lubang Buaya—seolah hendak mengatakan, “Di
sanalah kami mati.” Mati fisik, mati politik.
Untuk
masuk ke dalam monumen, orang harus berjalan sepanjang satu kilometer
dari Jalan Raya Pondok Gede. Ucapan “Selamat Datang” terukir di di atas
batu besar berwarna hitam. Kembang kertas berada di sepanjang jalan
masuk. Sekeliling monumen dibuatkan tembok tinggi dari muka hingga
belakang.
Di
areal monumen, terdapat museum. Di sini, pengunjung bisa mendengarkan
riwayat singkat para jenderal yang terbunuh itu, dengan memasukan koin
dan menggenggam gagang telepon di bawah foto mereka. Bagi yang ingin
menonton film G-30-S PKI disediakan tempat khusus. Mereka yang ingin
membaca, disediakan perpustakaan.
Beberapa
bangunan bekas orang-orang PKI menjalankan aktivitasnya bertebaran di
sana. Di sebelah kiri sumur, misalnya, terdapat bangunan berukuran
sekitar 8 m x 15,5 m yang dijadikan tempat penyiksaan para perwira itu.
Bangunan ini terbuat dari ayaman bambu dan bilah-bilah papan yang dicat
coklat dengan jendela kaca hitam. Sebelum G-30-S meletus, bangunan
tersebut dulunya Sekolah Rakyat.
Di
dalam ruangan, terdapat 18 patung. Sebagian di antaranya, patung
perwira militer yang sedang disiksa. Di depan mereka, berdiri empat
patung perempuan aktivis Gerwani. Salah satunya mengenakan busana
tradisional kebaya putih berbunga-bunga kecil, sarung batik, dengan
rambut panjang terurai. Ia memegang pentungan dalam sorot mata bengis.
Untuk
melihat patung-patung itu, tersedia tiga jendela yang terbuka lebar.
Penerangannya jelek. Debu-debu yang menempel di patung-patung tersebut
memberi kesan kurang perawatan.
Tak
jauh dari sana, berdiri sebuah bangunan bekas dapur umum, yang kabarnya
menyimpan suara-suara aneh tanpa wujud. “Tertawa cekikikan dan bahkan
melenguh,” kata Yasan Suryana, seorang penjaga yang sudah 17 tahun
bertugas sebagai pegawai honorer.
Terlihat,
genteng rumah itu pernah direnovasi. Dindingnya terbuat dari anyaman
bambu bercat putih, dengan beberapa bagian dicat hijau. Menurut cerita
warga di sana, rumah itu dulunya milik Ibu Amroh, seorang pedagang
Cingkau (pakaian keliling). Tak ada yang tahu, di mana Ibu Amroh atau
keturunannya berada kini.
Sekitar
dua puluh meter dari dapur umum, terdapat rumah Haji Sueb, seorang
penjahit. Ada beberapa bilik di dalamnya, dengan tiga lampu petromaks
yang berdebu, mesin jahit di ruang tengah dan lemari pakaian dengan kaca
besar di pintunya.
Rumah
Haji Sueb dianggap sebagai pos komando PKI. Letnan Kolonel Untung,
mengatur rencana penculikan terhadap perwira militer dari sana. Haji
Sueb sendiri telah lama meninggal, setelah mengalami penahanan panjang
di Pulau Buru. Keluarganya trauma dan tak pernah yakin Haji Sueb
terlibat dengan gerakan itu. Suara-suara aneh pun sering terdengar di
sini. Sejumlah penjaga, konon pernah mendengar suara tangis.
Kisah
mistis masih bisa diperpanjang. Elizabeth [tanpa nama referensi kedua],
pegawai museum, yang dianggap punya indera keenam oleh teman-temannya,
sering melihat sosok perempuan yang tertawa-tawa saat berlangsung apel
petugas jaga, yang kesemuanya berjumlah enam orang. Perempuan itu duduk
di bawah air mancur yang menghadap Lapangan Saptamarga, tak jauh dari
sumur.
Cerita-cerita
mistis barangkali sama absurd-nya dengan cerita-cerita perlakuan
kader-kader PKI terhadap para perwira militer yang dibunuh, termasuk
penyayatan atas kemaluannya. Tahun 1987, dalam jurnal Indonesia terbitan
Universitas Cornell, Ben Anderson, seorang ahli sejarah tentang
Indonesia, mengungkapkan laporan dokter yang membuat visum et repertum
atas jenazah para korban.
Dalam
resume penelitian tim dokter yang diketuai Brigjen TNI dr Roebiono
Kertapati itu, tertulis bahwa tak ada kemaluan korban yang disayat. Hal
ini sekaligus mengukuhkan ucapan Presiden Soekarno, yang sebelumnya
sempat mengatakan, bahwa 100 silet yang dibagikan kepada massa untuk
menyayat-nyayat tubuh korban tak masuk akal.
Saskia
Eleonora Wieringa—seorang sarjana Belanda penulis The Politicization of
Gender Relations in Indonesia—menilai penjelasan resmi Orde Baru atas
pembunuhan Lubang Buaya sebagai fantasi aneh. Dia mengatakan, penguasa
militer dan golongan konservatif khawatir melihat kekuatan perempuan di
zaman Soekarno, yang boleh jadi akan mengebiri kekuatan politik mereka.
Dari sinilah mengalir fantasi aneh tentang pengebirian para perwira di
Lubang Buaya itu.
“Semua
pemberitaan mengenai Gerwani adalah fitnah yang dimulai oleh Soeharto
sendiri,” kata Sulami, 74 tahun, tokoh Gerwani. Ia, yang kini ketua
Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966, pernah melakukan
identifikasi terhadap mereka yang dibunuh ketika itu, mulai tempat,
cara, hingga siapa saja yang membunuh.
Keberadaan
sejumlah anggota Gerwani di Lubang Buaya itu pun masih penuh kabut.
Beberapa peneliti justru tak melihat tindakan mereka sebagai usaha
persiapan kudeta, melainkan dimaksudkan untuk memberi dukungan terhadap
proyek politik Soekarno dalam rangka konfrontasi dengan Malaysia. Mereka
adalah bagian dari 20 juta relawan yang hendak memenuhi ajakan
Soekarno.
Sejumlah
studi kritis mengungkapkan fakta-fakta lain, yang menunjukkan bahwa
ofensif PKI justru dipicu oleh rencana kudeta oleh pihak militer. Dalam
sebuah pledoi di muka Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 19
Februari 1966, pentolan PKI Nyono memberi kesaksian, bahwa pihak militer
telah merancang rencana kudeta di bawah kendali apa yang dinamakan
“Dewan Jenderal”. Untuk mengimbangi kekuatan ini, PKI membuat “Dewan
Revolusi”.
Perihal
Dewan Jenderal diketahui Nyono dari sejumlah informasi yang rinci,
lengkap mendeskripsikan tanggal, jam, tempat, nama, acara, persoalan dan
lain–lainnya. “Yang saya masih ingat,” ungkap Nyono, “ialah bahwa tidak
semua jenderal masuk dalam Dewan Jenderal. Jumlah anggotanya kurang
lebih 40 Jenderal, diantaranya kurang lebih 25 orang aktif menjalankan
politik Dewan Jenderal. Tokoh–tokoh utamanya ada tujuh orang yaitu
Jenderal Nasution, A..Yani, Suparman, Haryono, Suprapto, Sutoyo, dan
Sukendro.”
Untuk
mencapai ambisinya, mereka sering menggelar berbagai rapat. Terakhir,
menurut ingatan Nyono, mereka mengadakan rapat pleno pada 21 September
1965 di Jl. Dr. Abdulrachman Saleh, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh
Suparman dan Haryono ini, mensahkan rencana komposisi Kabinet Dewan
Jenderal dan menetapkan waktu dilakukannya kudeta, yaitu sebelum Hari
Angkatan Perang pada tanggal 5 Oktober 1965.
Komposisi
kepemimpinannya, tambah Nyono, terdiri atas AH Nasution (Perdana
Menteri), Ruslan Abdul Gani (Wakil Perdana Menteri), A. Yani (Menteri
Pertahanan dan Keamanan), Suprapto (Menteri Dalam Negeri), Haryono
(Menteri Luar Negeri), Sutoyo (Menteri Kehakiman) serta Suparman (Jaksa
Agung).
Apapun,
suara Nyono tenggelam di antara arus besar pembersihan orang-orang PKI
dan catatan-catatan resmi yang bersumber dari pemerintah. Demikian pula
hasil penelitian-penelitian forensik yang mencoba mengungkap sekitar
kekejaman orang-orang PKI terhadap para perwira militer di Lubang Buaya
itu. Penolakan sejumlah politikus untuk menghapus Tap MPRS Nomor
25/1966, ikut melestarikan cerita versi Orde Baru sebagai satu-satunya
referensi sejarah sekitar peristiwa G-30-S PKI.
Ide
penghapusan bukan hanya datang dari para peneliti, sejarawan dan
masyarakat awam. Abdurrahman Wahid, presiden ke-4 Indonesia, sempat
membicarakannya secara terbuka, walau mendapat kecaman dari sana-sini,
termasuk dari Nahdlatul Ulama, sebuah organisasi massa Islam terbesar di
Indonesia yang pernah dipimpinnya. Mengikuti pembicaraannya, Wahid
bahkan melontarkan permintaan maaf atas nama rakyat terhadap orang-orang
PKI yang selama puluhan tahun disebut sebagai biang keladi
pemberontakan.
Megawati
Sukarnaputri, pengganti Wahid, tak pernah bertindak seperti itu. Tapi,
di tahun 2002, ia tak hadir pada upacara 1 Oktober di Lubang Buaya.
Apakah ini bentuk penolakan Megawati atas sejarah versi Orde Baru itu,
tak pernah jelas. Tapi, sejatinya, ketidakhadiran Presiden dimungkinkan
oleh protokoler negara sejak lahirnya Keputusan Presiden tentang
perubahan nama peringatan: dari “Hari Kesaktian Pancasila” menjadi “Hari
Mengenang Tragedi Nasional Akibat Pengkhianatan G-30-S PKI terhadap
Pancasila”.